Kabupaten Indramayu, yang terletak di pesisir utara Jawa Barat, dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional. Setiap tahun, ketika musim panen tiba, desa-desa di Indramayu berubah menjadi lautan sukacita. Hajatan digelar, organ tunggal berdentum dari rumah ke rumah, dan kebiasaan “saweran” — melemparkan uang ke penyanyi atau kerumunan — menjadi pemandangan umum. Tradisi ini, yang sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat tani, merupakan ekspresi rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Namun di balik gegap gempita pesta panen, tersembunyi kenyataan yang pahit. Ketika musim tanam kembali datang, banyak petani yang justru mengalami kesulitan ekonomi. Pendapatan yang semestinya bisa menopang hidup selama beberapa bulan habis dalam semalam penuh hiburan. Inilah ironi sosial yang menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan hidup petani kecil di Indramayu.

Tradisi atau Pemborosan?
Tidak bisa dipungkiri, saweran dan hajatan pasca-panen adalah bagian dari identitas budaya masyarakat Indramayu. Namun, ketika tradisi ini dilakukan tanpa perencanaan keuangan yang bijak, maka ia berpotensi menjadi beban jangka panjang. Saweran yang nilainya bisa mencapai jutaan rupiah hanya untuk satu malam hiburan, seringkali tidak sebanding dengan kebutuhan petani dalam musim paceklik.
Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa penghasilan petani bersifat musiman. Mereka sangat bergantung pada hasil panen, dan ketika hasil itu habis untuk konsumsi pesta, tidak ada cadangan yang tersisa untuk masa tanam, biaya pupuk, sewa lahan, atau kebutuhan sehari-hari.
Membangun Budaya Ekonomi yang Berkelanjutan
Untuk mengatasi kebiasaan ini, pendekatannya tidak bisa semata-mata dengan melarang atau menghakimi tradisi. Diperlukan pendekatan yang lebih berakar pada budaya, sosial, dan ekonomi lokal, seperti:
- Menumbuhkan Kesadaran Menabung Sejak Dini
Pemerintah desa atau kelompok tani dapat mulai mengedukasi pentingnya “nabung hasil panen”. Ini bisa dibarengi dengan program tabungan kolektif atau koperasi simpan pinjam berbasis desa. - Mengaktifkan Kembali Lumbung Desa (Leuit)
Lumbung desa dulunya berfungsi sebagai cadangan pangan kolektif ketika paceklik tiba. Revitalisasi leuit bisa menjadi bentuk nyata dari gotong royong antarwarga dan menjaga ketahanan pangan desa. - Festival Budaya Panen yang Produktif
Daripada pesta hura-hura yang boros, hajatan panen bisa dikemas dalam bentuk festival budaya desa: pertunjukan seni tradisional, pasar hasil tani, lomba memasak lokal, dll. Selain tetap menjaga tradisi, ini juga bisa menjadi daya tarik wisata dan membuka peluang ekonomi baru. - Penguatan Gotong Royong Musim Tanam
Menghidupkan kembali sistem sambatan atau gotong royong saat tanam bisa meringankan beban biaya produksi bagi petani. Dengan kerja bersama, biaya sewa tenaga kerja bisa ditekan, dan semangat kekeluargaan diperkuat. - Peran Tokoh Agama dan Adat
Sosialisasi perubahan kebiasaan akan lebih diterima jika disampaikan oleh tokoh yang dihormati di desa. Mereka bisa menjadi jembatan antara tradisi lama dan pemikiran baru yang lebih berkelanjutan.
Penutup: Menjaga Tradisi, Merawat Masa Depan
Indramayu tak hanya dikenal karena padinya, tetapi juga karena kekayaan budayanya. Tradisi pesta panen bukan sesuatu yang harus dihapus, tapi perlu diarahkan dan dimaknai ulang agar sejalan dengan kebutuhan hidup petani masa kini. Dengan langkah-langkah kecil seperti menabung, membangun kembali solidaritas desa, dan merayakan panen secara lebih produktif, petani Indramayu bisa keluar dari siklus susah senang musiman. Tradisi tetap hidup, namun masa depan juga terjaga.