“Lelaki Berkulit Hitam dan Bidadari Surga”
Angin gurun sore itu berhembus pelan, menyapu debu di jalanan Madinah. Di antara para sahabat yang berkumpul dekat Masjid Nabawi, tampak seorang lelaki duduk sendiri. Kulitnya hitam legam, matanya tajam, namun sorotnya penuh keikhlasan. Ia adalah Sa’ad Al-Aswad As-Sulami — lelaki miskin, tidak tampan, tak memiliki harta maupun keturunan mulia.
Langkahnya ringan saat ia menghampiri Rasulullah ﷺ. Suaranya bergetar menahan malu.
“Ya Rasulullah… apakah aku… layak untuk menikah?”
Rasulullah ﷺ memandangnya dengan lembut. Beliau tahu Sa’ad adalah seorang mukmin sejati. Dalam tubuh yang sederhana itu, bersemayam hati yang lebih mulia dari gunung Uhud.
“Pergilah, Sa’ad. Temuilah keluarga wanita dari Anshar itu, dan sampaikan lamaranmu. Katakan bahwa aku yang memintamu.”
Sa’ad menunduk, hatinya bimbang. Ia tahu banyak wanita Madinah ingin menikah, tapi… dengan lelaki sepertinya?
Dengan penuh taat, ia pun mendatangi rumah keluarga itu. Ia mengetuk pintu dengan rasa canggung. Seorang lelaki tua, ayah dari si gadis, membukakan pintu.
Lelaki itu menatapnya dari atas ke bawah. Kulit hitam. Jubah usang. Tak tampan. Tak terpandang. Ia mengernyit.
“Kami akan pertimbangkan…” katanya datar.
Namun dari balik tirai, si gadis mendengar semuanya. Hatinya gemetar. Rasulullah ﷺ yang memilih? Bagaimana mungkin ia menolak?
“Ayah… Jika Rasulullah yang memilih… maka aku terima. Demi Allah, aku ingin menjadi istri seorang yang diridhai Rasulullah.” ucapnya mantap.
Maka malam itu, Sa’ad menikah. Bukan pesta besar. Hanya doa-doa yang lirih dan air mata syukur yang mengalir di pipi Sa’ad. Untuk pertama kalinya, ia merasa dihargai bukan karena rupa, tapi karena iman.
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Keesokan harinya, terdengar seruan:
“Jihad fi sabilillah! Berangkatlah kalian yang ingin menjemput syahid!”
Sa’ad bangkit dari pembaringan. Ia menatap istrinya yang baru semalam ia halalkan.
“Istriku… aku mungkin tak kembali. Tapi andai aku mati, ketahuilah… aku ingin syahid agar Allah ridha padaku.”
Sang istri menahan tangis. Ia tahu, cintanya kepada Allah lebih besar dari cintanya pada dunia.
Sa’ad pergi ke medan perang dengan semangat membara. Ia bertempur tanpa ragu, dadanya terbuka, teriakan takbirnya mengguncang hati musuh.
Dan… di sanalah ia jatuh. Tersungkur dalam darah. Tapi wajahnya tersenyum. Seolah melihat cahaya yang tak bisa dilihat manusia biasa.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah ﷺ duduk bersama para sahabat.
Tiba-tiba beliau berkata:
“Aku melihat Sa’ad… di surga. Ditemani bidadari surga… Wajahnya berseri… lebih tampan dari yang kalian bayangkan.”
Para sahabat terdiam. Air mata mengalir. Lelaki hitam yang dulu dilecehkan… kini bersinar di taman-taman surga.