Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi masalah gizi dan investasi masa depan bangsa, kini memunculkan pertanyaan krusial terkait pembiayaannya. Di tengah berbagai opsi yang disodorkan, termasuk potensi utang negara dan kerjasama swasta, terselip narasi yang lebih problematik: bagaimana jika pembiayaan program ini terjalin dengan “perjanjian” yang menjadikan Indonesia sebagai lahan uji coba vaksin, khususnya vaksin TBC?
Jika skenario ini benar adanya, Indonesia berpotensi terjebak dalam situasi yang kurang menguntungkan. Alih-alih menjadi penerima manfaat murni dari program kesehatan, kita bisa saja terbebani kewajiban tersembunyi, entah dalam bentuk keharusan membayar “budi baik” melalui kebijakan tertentu, atau bahkan secara finansial di kemudian hari. Narasi “balas budi” atau “utang terselubung” dalam konteks kemanusiaan dan kesehatan publik sangatlah riskan. Kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan kesehatan bisa terancam jika kita merasa terikat oleh “kebaikan” pihak lain yang mendanai program MBG dengan imbalan peran sebagai lokasi uji coba.
Menjadikan Indonesia sebagai “ladang uji coba” juga menimbulkan pertanyaan etis. Meskipun uji coba vaksin TBC sangat penting mengingat beban penyakit ini di tanah air, partisipasi harus didasari pada persetujuan yang transparan, partisipasi aktif peneliti dan ahli Indonesia, serta jaminan manfaat nyata bagi masyarakat. Jangan sampai partisipasi ini hanya menjadi alat bagi pihak lain untuk mengumpulkan data dan validasi produk mereka, sementara kita hanya menjadi objek penelitian dengan potensi risiko yang tidak sepenuhnya terkelola oleh kepentingan nasional.
Keterkaitan antara pembiayaan MBG dan peran sebagai lokasi uji coba vaksin bisa menciptakan ketergantungan yang berbahaya. Jika keberlanjutan program MBG diikatkan pada kelancaran uji coba atau hasil tertentu yang menguntungkan pihak pendana, maka kita kehilangan kendali atas program yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara. Pemerintah harus berhati-hati untuk tidak menggadaikan kedaulatan dan kepentingan nasional demi merealisasikan program populis.
Opsi pembiayaan MBG harus dieksplorasi secara mandiri dan bertanggung jawab, dengan mengutamakan kemandirian fiskal dan potensi sumber daya dalam negeri. Efisiensi anggaran, inovasi pembiayaan, dan partisipasi aktif sektor swasta nasional dengan skema yang jelas dan menguntungkan negara harus menjadi prioritas. Mengaitkan program kesejahteraan dengan potensi kewajiban tersembunyi, apalagi yang melibatkan risiko kesehatan masyarakat sebagai objek uji coba, adalah langkah yang patut dipertanyakan secara kritis.
Kita tentu mendukung upaya peningkatan gizi dan penanggulangan TBC. Namun, implementasinya harus bersih dari potensi konflik kepentingan dan jebakan ketergantungan. Program MBG harus benar-benar menjadi investasi untuk masa depan bangsa, bukan pintu masuk bagi utang terselubung atau pengorbanan kedaulatan dalam bidang kesehatan. Pemerintah perlu memberikan klarifikasi yang transparan mengenai sumber pendanaan MBG dan memastikan bahwa partisipasi Indonesia dalam uji coba vaksin TBC didasari pada prinsip kesetaraan, manfaat nyata bagi bangsa, dan tanpa implikasi tersembunyi yang merugikan kedaulatan negara.